Kamis, 06 Februari 2014

SEJARAH SILSILAH KETURUNAN KELUARGA SWA WANDAWA SEMBUNG-KARANGENJUNG MENGWI



SEJARAH
SILSILAH KETURUNAN
KELUARGA SWA WANDAWA
SEMBUNG-KARANGENJUNG
MENGWI


Oleh:
I Gusti Agung Gde Oka Puger


MURDA – WAYA

Setelah bekerja sabar dan tekun dalam waktu yang lama, maka berhasillah kami menyelesaikan terjemahan BABAD LELUHUR kami ini, disamping mengadakan tambahan serta koreksi, sepanjang bisa didapat keterangan-keterangan yang authentiek dan dapat dibuktikan kebenarannya.
Entah karena apa, dalam bagian-bagiannya yang permulaan tidak ada disebutkan para istri leluhur kami, demikianpun kebanyakan dari putra-putra Beliau hanyalah golongan peria saja yang termaktub, sedangkan golongan putri-putrinya, kecuali satu-dua tidak ada yang dimuat. Begitupun dari golongan peria yang disebutkan itu, hanya yang menurunkan putra-putra lelaki saja yang diutarakan, dengan tidak ada diceriterakan sekedar kedudukan ataupun fungsi-fungsi yang Beliau telah atau pernah jalankan dalam masa kehidupan Beliau-beliau itu. Dalam uraian-uraiannya babad hanya menyebutkan: “SANG ANJURUIANG ……” dan sebagainya.
Pun hari lahir, maupun masa hidup Beliau-beliau itu tidak termuat, sehingga kita para keturunan, yang melanjutkan jalan sejarah Leluhur kita itu, masih meraba-raba dan mengira-ngira jaman-jaman yang dilalui masing-masing Beliau itu.
Mungkin hal demikian itu oleh para Leluhur kita, yang berusaha mencatat SILSILAH ini, dianggapnya biasa saja, seperti umumnya dan biasanya telah dilakukan oleh “guru-guru” kita Bangsa Hindu, yang mengajar kita menulis serta membaca huruf yang kita pergunakan sekarang ini, dengan tidak menuliskan keterangan-keterangan mengenai tahun hal-hal atau peristiwa-peristiwa seperti itu.
Juga pustaka-pustaka yang terwujud di Indonesia (baca: Jawa) sendiri kerap kali tidak diberi bertanggal atau bertahun, untuk mengenal masa terbitnya atau dikarangnya, oleh keturunan sekarang ini; hanyalah atas penyelidikan para kaum cendikiawan sekarang, dengan cara membandingkan dengan hasil-hasil penyelidikan sejarah atau perihal-perihal lain yang diketahuinya dapat dikira-kirakan kejadian peristiwa-peristiwa purba itu.
Penyelidikan-penyelidikan untuk memperlengkapi hal-hal yang belum jelas itu, kami masih usahakan, dan hal mana sepannjang akan bisa didapat, akan dimuat dalam silsilah (stamboom) yang disusun nanti.
Lain dari pada itu, perlu juga dicatat di sini hal di bawah ini:
Seperti ternyata dari BABAD kita, keluarga dari pihak purusa adalah keturunan Karangasem, sedangkan dari Peredana (perempuan), dari keturunan Mangaraja (Mengwi). Tetapi dalam mukadimahnya diambil Mukadimah Kerajaan Mengwi. Apa sebabnya, tidak dapat kami ketahui dengan pasti. Kemungkinannya adalah karena Leluhur kita yang memnyusun BABAD ini sudah “enteg” menjadi warga Mengwi dan dipandang olehnya tidak perlu lagi menyebut-nyebut hubungan dengan keluarga yang ada di Karangasem. Pendapat ini lebih diperkuat lagi, bila diingat-ingat, bahwa silsilah Karangasem membatasi diri dan mengutamakan anggota-anggota keluarga yang sangat terdekat dengan mereka yang menurunkan Raja-Raja atau Pejabat-Pejabat penting lainnya saja di Karangasem atau daerah ini.
Demikianlah sekedar pendahuluan dan penjelasan kami, selaku penterjemah dan “penyambung” Babad ini, sehingga sampai pada generasi yang tersurat pada bagian-bagian terakhir.

Sembung, Nopember 1976


(I Gusti Gde Oka Puger)


Inilah sejarah silsilah dari keturunan yang telah mauled Sri Arya Kresna Kepakisan berasal dari Jawa Dwipa, yang telah tercantum dalam gubahan, lanjutan dari yang dipegang di Raja Purana Kawia Negara, sesuada berkuasa dan bertahtanya yang Mulia, yang bergelar Ida I Gusti Agung Ngurah Made Agung yang juga digelari Bhima Shakti, bersenjatakan gadha gagah perkasa oleh dunia. Babad ini diminta oleh I Gusti Putu Gde Kengetan yang bersembayam di desa Sembung.
Oh Tuhan Yang Maha Esa, semoga terhindarlah hamba dari mara bahaya, hubaya-hubaya selanjutnya selamat walafiat. Oh Tuhan, ampunilah hamba-Mu memanjatkan doa dengan hati suci murni, dengan menunggalkan cipta pikiran.
Permohonan hamba kehadirat para Leluhurku yang berwujud inti sari ciptaan Tuhan, semoga Beliau berkenan di alam baka menganugrahkan puja restunya, agar hamba terhindarlah dari segala kekhilapan dan dosa kutukan. Hendaknya segala mala petaka dan hukuman batin dijauhkan dari diriku. Hubaya-hubaya para Leluhurku tidak kurang suatu apa-apa, sejahtra dan langgeng dirgayusa, sampai-sampai kepada seluruh kaum kerabat serta sekalian peretisentana keturunan kami diberkati selamat sentosa.
Diceriterakan I Gusti Agung Sakti, setelah beberapa lama berkuasa di atas Negara Buleleng, Belambangan, Jembrana , terutama Mengwi, maka Beliau berhasrat mengadakan upacara penobatan menjadi Raja, disertai berbagai-bagai yadnya, seperti pitra yadnya, memuja kepada roh para leluhur yang sudah menunggal dengan Tuhan. Dikala itu Beliau disembah oleh para memuka yang takluk kepada Kerajaan Mengwi, beserta para pegawai, seperti manca, perbekel, dan Beliau berganti julukan, ditetapkan bergelar I Gusti Agung Ngurah Made Agung Bhima Sakti, serta Beliau juga memakai sebutan gelar Cokorda Sakti Belambangan, karena beliau kerap kali berkenan bertamasya ke Belambangan. Maka setelah Beliau berpulang kerakhmattullah, Beliau tetap digelari Betara Sakti Belambangan oleh dunia.
Sekarang marilah diceriterakan istri-istri Cokerda Sakti Belambanagan, yang telah melahirkan putra-putri. Dengarlah baik-baik.
I Gusti Agung Ayu Panji, putri dari I Gusti Ngurah Panji Sakti yang ditetapkan menjadi prameswari, permata puri, berputra dua orang, yang sulung bernama I Gusti Agung Ratu Panji, adiknya disebut I Gusti Agung Ketut Buleleng, yang beralih bertempat tnggal ke Muncan dan dianugrahi wadua lima ratus orang.
I Gusti Luh Pacung, putri dari I Gusti Ngurah Pacung di Payangan keturunan dari Tan Kober, berasal dari Arya Sentong dahulu kala, berputra I Gusti Agung Pacung, adik beliau bernama I Gusti Ayu Pacung, diperistri oleh I Dewa Gde Yang bertahta di Semararaja dan yang menjadi ibunda dari I Dewa Gde Agung Made. Tentang I Gusti Agung Putu Pacung, beliau dianugrahi tempat kedudukan di Singasari, disertai wadua delapan ratus orang.
I Gusti Luh Penarungan berputra seorang, bernama I Gusti Agung Wayahan, berpuri di Penarungan, diberi wadua empat ratus lima puluh orang.
I Gusti Luh Kamasan melahirkan putra I Gusti Agung Made Kamasan, bertempat tinggal di Sibang Srijati, diberi wadua empat ratus orang.
I Gusti Luh Mambal, anak dari I Gusti Ngurah Mambal, berputra I Gusti Agung Gde Mambal, meninggal waktu masih bayi. Adiknya bernama I Gusti Agung Lebah, bertempat tinggal di Kapal Kanginan, diberi wadua tiga ratus lima puluh orang.
I Gusti Luh Toya Anyar, anak dari Anglurah Tianyar, keturunan Gajah Para dahulu kala, berputra I Gusti Agung Made Banyuning, bertempat tinggal di Sayan, diberi wadua lima ratus orang. Adik beliau I Gusti Agung Ayu Suci diambil istri oleh I Gusti Agung Wayahan Dawan, putra dari Ida I Gusti Agung Ngurah Made Karangasem Sakti, Raja Karangasem, menetap bersembayam di Kengetan, dianugrahi wadua lima ratus orang,
I Gusti Luh Alangkajeng berputra I Gusti Istri Ayu Putu Alangkajeng, diambil istri oleh Sang Pandiya di Udiyana Mimba, dan berputrakan Sang Pandiya Alangkajeng. Adik beliau bernama I Gusti Agung Made Alangkajeng, yang bungsu bernama I Gusti Agung Nyoman Alangkajeng, diberikan kedudukan di Munggu, berwadua lima ratus lima puluh orang.
Tentang I Gusti Agung Ratu Panji, beliaulah diharapkan akan memerintah, tetap bersembayam di Kawia Negara Rajia, sebagai pengganti ayah beliau kelak.
I Gusti Agung Made Alangkajeng disediakan untuk membantu kakaknya kemudian. Apa sebab demikian? Karena di kala beliau tidur tengah malam, kerap kali keluar api dari shiwaduara (ubun-ubun) beliau, suatu tanda akan kesaktian beliau. Akan tetapi I Gusti Agung Ratu Putu Panji tidak jadi menjadi raja, karena lekasan mangkat dalam peperangan melawan I Dewa Agung Anom dari Sukawati.
Sekarang beralih diceriterakan Ida I Gusti Agung Wayahan Dawan sesudah beliau menetap bersembayam di Kengetan, ditetapkan menjadi Bahudanda oleh Shri Aji Mangaraja, disebabkan oleh kemahiran beliau dalam bidang perundang-undangan, seperti Rajaniti, jadinya tidak ragu-ragu (janggal) beliau memerintah negeri. Itulah sebabnya maka rakyat semua taat dan cinta kepada beliau, dan sekali saja beliau mengeluarkan perintah, segalanya beres.
Sesudah tetap tentram kedudukan beliau di Kengetan, maka beliau memperoleh putra tiga orang, yang sulung bernama I Gusti Agung Putu Kaler, yang menengah I Gusti Agung Made Geriya, dan yang bungsu diberi nama I Gusti Agung Gde Samu.
Sekarang marilah kita diceriterakan ketiga putra-putra beliau I Gusti Agung Wayahan Dawan. Sesudah mereka ini menanjak dewasa, adalah minat dari ayah beliau akan memberikan kedudukan kepada beliau-beliau itu disertai wadua, maka kepada I Gusti Agung Gde Samu diberi kedudukan di desa Samu, dan diberi wadua seratus lima puluh orang. I Gusti Agung Putu Kaler berkedudukan di Katiklantang, diberi wadua seratus orang. I Gusti Agung Made Geriya tetap bersembayam di Kengetan, sebagai pengganti ayah beliau.
Ceriterakan sekarang I Gusti Agung Gde Samu, entah berapa lama beliau bermukim di Desa Samu, maka beliau memperoleh seorang putra, bernama I Gusti Agung Nyoman Jelantik.  
I Gusti Agung Made Geriya berputra I Gusti Agung Nyoman Kengetan.
I Gusti Agung Putu Kaler berputra seorang bernama I Gusti Agung Ketut Jelalntik, menurunkan I Gusti Agung Gde Jelantik, tetapi malang beliau ini tidak paham huruf. Beliau menurunkan putra yang bernama: I Gusti Agung Putu, yang menengah I Gusti Agung Made Geriya dan yang bungsu bernama I Gusti Agung Nyoman Jelantik.
I Gusti Agung Nyoman Kengetan menurunkan I Gusti Agung Made Panidha.
I Gusti Agung Nyoman Jelantik di Desa Samu berputra I Gusti Agung Gde Samu, dan I Gusti Agung Gde Samu ini menurukan I Gusti Agung Made Jelantik.
I Gusti Agung Made Panidha di Kengetan mengadakan putra-putra yang bernama: I Gusti Agung Ketut Geriya, adik beliau bernama I Gusti Agung Putu Kengetan.
Entah telah berapa lamanya maka tibalah masanya, dan mangkatlah I Gusti I Gusti Agung Gde Jelantik, I Gusti Agung Made Panidha dan I Gusti Agung Gde Samu, sama berpulang kea lam baka, menuju sorganya masing-masing dan sudah diadakan pula upacara pitra puja sebagai mana mestinya, dibakar jenasahnya di kuburan beserta alat-alatnya sesuai dengan upacara pitra yadnya, diselenggarakan oleh para keturunan beliau dengan baik. Demikian keadaannya, selanjutnya tidak disebutkan lagi.
Sekarang diceriterakan Bhupati di Gianyar sangat berkeinginan akan menaklukkan Negara-negara Kengetan, Samu dan Katiklantang, maka segeralah beliau mengutus petugas-petugas beliau dengan membawa surat, ditujukan kepada mereka yang berkuasa di Kengetan, Samu dan Katiklantang. Maksud surat itu adalah agar ketiga beliau yang berkuasa di Kengetan, Samu dan Katiklantang tersebut ingkar bakti kepada Raja di Manguraja dan hendaknya berkenan berbaik dengan Raja Gianyar.
Sekarang marilah kita ceritakan kembali mereka yang bersemayam di Kengetan, Samu dan Katiklantang. Setelah beliau – beliau itu menerima surat dari Raja Gianyar tersebut, dan setelah membaca dan mengetahui maksudnya, maka beliau yang bersemayam di Kangetan dan Samu segeralah membuat surat balasan yang isinya, bahwa mereka itu tidak menyetujui permintaan Raja Gianyar, walaupun kerajaan beliau akan menjadi kubangan budak. Sedangkan beliau yang bersemayam di Katiklantang tidaklah memberikan jawaban dengan surat, melainkan menjawabnya hanya secara lisan belaka, yang menegaskan bahwa beliau tidak sudi menyetujui permintaan Raja Gianyar dimaksud.
            Tidak diceriterakan beliau yang berkuasa di Katiklantang, sekarang tersebutlah ada seorang wangsa wesya bertempat tinggal di Katiklantang. Orang itu mengetahui hal-ikhwal yang berkuasa di Katiklantang telah menerima surat dari Raja Gianyar; maka segeralah ia menghadap Raja Manguraja (Mengwi), memaklumkan hal-hal yang menyangkut diri yang berkuasa di Katiklantang itu.
            Setelah itu maka bangkitlah murka Raja Manguraja, lalu memerintahkan memukul kentongan dengan maksud akan menghancurkan desa Katik lantang. Setelah amarahnya tak tertahan lagi, maka berangkatlah menuju desa Katiklantang, dan setelah digeledah puri di Katiklantang, maka kedapatanlah surat bersangkutan diparba tempat peraduan yang berkuasa di Katiklantang. Setelah diserahkan kepada yang berkuasa di Mangaraja, maka beliau memerintahkan untuk mengusir yang berkuasa di Katiklantang ke Nusa Panida. Sekarang Si Wesya inilah diangkat untuk bertugas di desa Katiklantang.          
Entah sudah berapa lamanya, I Gusti Agung Putu Kaler, I Gusti Agung Made Geriya dan I Gusti Agung Nyoman Djelantik beserta sanak keluarga beliau berada di Nusa Panida, beliau meninggalkan putera dua orang, (peria dan wanita), bernama I Gusti Agung Kompiang Geriya dan adik beliau bernama I Gusti Agung Ayu Karang.
            Konon tersebutlah I Gusti Agung Putu Kengetan, I Gusti Agung Ketut Geriya dan I Gusti Agung Made Jelantik, demikian pula wesya yang bertugas di Katik Lantang, kebetulan mereka itu mengadakan pertemuan dengan para pembantu pembantunya, tiba-tiba datanglah pelarian-pelarian, yaitu orang-orang dari perbatasan negerinya, dengan mempermaklumkan, bahwa perajurit Gianyar sedang mengurung negara beliau itu, lengkap dengan senjata, perbekalan dan kendaraan.
            Maka gemparlah beliau-beliau yang menguasai masing-masing desa itu, serta memerintahkan memalu kentongan dan mengerahkan rakyat, sebab maksud beliau lekas-lekas  menghalau sateru.
            Tidak diceritakan malam itu, maka setelah fajar menyingsing di ufuk timur, berangkatlah I Gusti Agung Putu Kengetan, I Gusti Agung Made Jelantik serta yang bertugas di Katiklantang, dengan habis-habisan rakyat mengiring, lalu mereka mulai berperang, luar biasa  ramainya, kejar – mengejar, mati-dimatikan, dan sama-sama banyak yang mati dan luka.
            Karenanya, undurlah bala Kengetan, Samu dan Katiklantang, payah serta mengendap-endap dan dibiarkan oleh I Gusti Agung Putu Kengetan, I Gusti Agung Made Jelantik, dan yang bertugas di Katiklantang, yang sama-sama maju kedepan mengamuk menyerbu musuh, dan ramailah peperangan itu, sama-sama tidak mempan oleh senjata, apalagi I Gusti Agung Putu Kengetan dan I Gusti Agung Made Jelantik, sama-sama tangkas-cekatan dalam peperangan, demikian pula sangat perkasanya yang bertugas di Katiklantang.
            Oleh karena kebanyakan lawan, maka terdesaklah ketiga pahlawan itu dalam pertempuran, ditinggalkan oleh para perajuritnya, semuanya sama-sama mundur, tidak dapat ditahan lagi, lari tunggang langgang, sama-sama menuju kebelakang atau ke desa-desa lain.
            Maka tersebutlah I Gusti Agung Putu Kengetan menghindarkan diri menuju ke Desa Sanur, menumpang pada tempat kediaman wangsa Berahmana di Buruan.           
I Gusti Agung Ketut Geriya menuju desa Cemenggon Penarungan, I Gusti Agung Made Jelantik menuju ke dusun Banjar Samu, diikuti oleh orang-orangnya yang masih hidup. Penguasa di Katiklantang ke Karangenjung-Sembung.
Demikianlah.
            Kembali dilanjutkan apa yang diceritakan di depan, setelah mangkatnya I Gusti Agung Made Geriya di Nusa Penida, beliau meninggalkan dua orang putera, yang sulung bernama I Gusti Agung Kompiang Geriya, yang bungsu bernama I Gusti Agung Ayu Karang.
            Tersebutlah I Gusti Agung Putu Kaler beserta I Gusti Agung Nyoman Jelantik dengan putera-puteranya; beliau itu sangat bersedih di dalam hati, karena dibuang di Nusa Penida; sebab itu beliau bersama-sama bermusyawarah, tidak lain yang dibicarakan, hanyalah keinginan beliau akan meninggalkan Nusa Penida. Maka pada suatu tengah malam, beliau bersama-sama menuju ke pantai laut; hanya I Gusti Agung Kompiang Geriya tinggal disana. Setiba mereka di tepi laut, maka berjumpalah belaiu dengan seorang pelaut, yang membawa perahu pemancing ikan.
            Maka bersabdalah I Gusti Agung Putu Kaler serta I Gusti Agung Nyoman Jelantik dengan halus dan lemah lembut, minta bantuan agar beliau diantar sampai di desa Kusamba. Pelaut itu menerima baik permintaan itu.
            Setelah tiba dipantai Kusamba, maka I Gusti Agung Putu Kaler serta I Gusti Agung Nyoman Jelantik berkenan memberikan ganjaran kepada nelayan itu. Apakah ganjaran beliau itu?
            Tidak lain diajarkan japa mantram untuk memberi pasu pati (tuah) atas pancing dan “penguncur mina”. Maka bersujud dan berterima kasihlah pelaut itu.
            Setelah itu maka I Gusti Agung Kaler beserta I Gusti Agung Nyoman Jelantik serta sanak keluarga beliau sekaliannya berangkat menju ibu kota Swecalinggarsa Pura.
            Entah berapa lama beliau-beliau itu berdiam disana, maka I Gusti Agung Ayu  Karang diperisteri oleh seorang bangsa Satriya Sukahat, yang kemudian menurunkan Ki Dewa Sabug.
   Entah berapa lama berduka cita hatinya I Gusti Agung Putu Kaler serta I Gusti Agung Nyoman Jelantik berada di Swecalinggarsa itu, maka berangkatlah beliau bersama-sama dari sana menuju ke barat, dan sampailah beliau-beliau itu di desa Balahayu, dan di sanalah beliau mencari kawan tak lain kepada yang berkuasa di situ.
Sesudah beberapa hari lamanya, maka menghadaplah yang berkuasa di Balahayu kepada raja di Mangaraja, untuk mempermaklumkan perihalnya I Gusti Putu Kaler dan I Gusti Agung Nyoman Jelantik mengungsi di sana.
            Setelah itu maka raja mengirim utusan untuk menghabiskan nyawa keduanya itu.
            Tidak disebutkan maka sekarang telah terbunuhlah mereka yang mengharapkan pertolongan itu di sebelah Selatan Desa Balahayu, di pinggir sungai Sungi, berdekatan dengan tempat persembahyangan Pura Tungkub, dan dimakamkan di sana.
            Demikianlah, sekarang marilah diceritakan setelah wafatnya I Gusti Agung Putu Kaler; adalah beliau meninggalkan seorang putera yang masih kecil yang sangat tampan parasnya, bernama I Gusti Agung Nyoman Sengguan, sangat kasih sayanglah yang berkuasa di Balahayu kepada anak kecil itu, lalu dimohonnyalah kepada yang bertahta di Mangaraja, agar diperkenankan anak itu terus hidup, hal mana dapat perkenan dari raja.
            Sesudah beliau Dewasa, lalu beliau mencari tempat tinggal, yaitu di desa Kerangenjung-Sembung.
            Sekarang beralih ke I Gusti Agung Ketut Adi, putera dari I Gusti Agung Putu Kangetan, yang bersembunyi di Sanur. Beliau sekarang mencari tempat tinggal di lingkungan desa sembung.
            Setelah tetap kedudukan beliau-beliau itu di Karangenjung dan Sembung tersebutlah Raja Mangaraja bermusuhan dengan beliau yang berkuasa di Wratmara; Maka tersebutlah I Gusti Agung Kompiang Geriya, putera dari I Gusti Agung Made Geriya yang telah wafat di Nusa Penida, datang sujud menghadap kepada Raja Semarapura, serta beliau berdatang sembah dengan harum manis, sembah beliau : Maaf duli Tuanku, oleh karena Sri Paduka Tuanku sekarang dalam peperangan dengan yang berkuasa di Marga, sekarang sudi apalah kiranya Sri Paduka Tuanku mengorbankan jiwa-ragaku si Geriya ini di medan laga. Permohonan hamba hanyalah, sudi kiranya meninjau/menyaksikan perbuatan hamba. Di kala hamba Paduka Tuanku gugur di medan bukti, permohonan hamba Tuanku hanyalah agar sanak keluarga hamba yang berada di Karangjung- Sembung dan Banjar Samu, sudi Paduka Tuanku mengampuni karena kekurangnnya.
   Maka berkenanlah Sri Baginda Raja Semararaja, dan segeralah I Gusti Agung Kompiang Geriya menyerbu ke dalam peperangan dengan tak menoleh kanan-kiri, dengan bersenjatakan keris Si Baru Kandik, entah berapa lawan yang telah terbunuh oleh beliau. Oleh karena banyaknya lawan, maka terdesaklah beliau di desa Bugbugan, serta terbunuh dengan pusaka kawitan di Wratmara, dan dipenggal leher beliau serta kepala beliau dipersembahkan kepada Kyayi Anglurah Tabanan, dan digantungkan di tengah-tengah kuburan di sana. Beliau itulah digelari sebutan Betara Rana di Bugbugan hingga kini.
Tersebutlah sekarang I Gusti Agung Nyoman Sengguan yang bersembayan di Puri Karangenjung. Beliau beristri dua orang, yaitu I Gusti Ayu Raka yang berputra dua orang, yang pertama bernama I Gusti Agung Putu Karang dan adik beliau bernama I Gusti Agung Gde Rai. Siluh Made Rai dari Desa Sembung Sobangan, yang berputra I Gusti Agung Nyoman Tanjal.
Sekarang tersebutlah pula I Gusti Agung Ketut Adi yang bersemayam di Desa Sembung, beliau menurunkan I Gusti Agung Putu Gde Kengetan, I Gusti Agung Ayu Raka dan I Gusti Agung Ayu Nyoman Rai.
Adapun I Gusti Agung Putu Gde Kengetan, setelah dewasa diangkat menjadi Manca Sembung Karangenjung oleh Sri Baginda Raja Manguraja dengan pembantu-pembantunya I Gusti Agung Putu Karang dan I Gusti Agung Gde Rai di Karangenjung.
Sekarang disebutkan istri-istrinya I Gusti Agung Putu Gde Kengetan yang sama-sama sudah mengadakan putra-putra.
DENGARKANLAH:
Sayu Putu Mugelik dari Jero Tambangan Sibang Shrijati berputera I Gusti Agung Putu Gde Kengetan Berata, I Gusti Agung Ngurah Gde Geriya, I Gusti Agung Rai Anom dan I Gusti Agung Ayu Ketut Rai. Ni Jero Siulan dari Banjar Belangpande Sembung melahirkan I Gusti Agung Putu Oka. Ni Jero Jasa dari Banjar Pasekan Sembung, melahirkan I Gusti Agung Nyoman Kuta, dan sebelumnya sudah mengangkat seorang putera bernama I Gusti Agung Made Gerya, Putera dari I Gusti Agung Gde Rai di Karangenjung.
Adapun I Gusti Agung Ngurah Gde Griya diangkat anak oleh I Gusti Agung Ayu Rai bibi beliau yang sampai tua tidak mau bersuami; karena dikecewakan oleh pacar beliau dari Banjar Semu.
Sekarang marilah beralih menceritakan keturunan I Gusti Agung Nyoman Sengguan di Karangjung.
I Gusti Agung Putu Karang tetap bermukim di Karangenjung. Beliau beristeri tiga orang yaitu : I Gusti Ayu Dalem, yang berputera seorang, bernama I Gusti Agung Putu Dalem, I Gusti Ayu Nyoman Rai, yang tidak berputera.
Ni Jero Dauh, yang berputera I Gusti Agung Nyoman Sengguan dan I Gusti Agung Ayu Ketut Rapang. Adapaun I Gusti Agung Gde Rai beralih tampat ke desa Kuwum, yang atas usaha beliau dibangun kembali setelah menjadi hutan lebat, karena ditinggalkan oleh para penghuninya, tidak diketahui karena apa. Beliau beristerikan I Gusti Agung Ayu Raka, puteri dari I Gusti Agung Ketut Adi di Sembung, yang melahirkan putera : I Gusti Agung Ayu Raka, I Gusti Agung Ayu Rai, I Gusti Agung Gde Jelantik dan I Gusti Agung Rai Jelantik.
Ni Jero Pudak dari Banjar Belangpande Sembung berputera I Gusti Agung Made Kaler, I Gusti Agung Nyoman Kaler. Adapun I Gusti Agung Made Geriya diangkat anak oleh I Gusti Agung Putu Kengetan bersama istrinya Ni Jero Jasa.
Selanjutnya beliau beristerikan Jero Jempiring, Jero Sandat dan Jero Gambir, tetapi mereka ini tidak berputera.
Adapun I Gusti Agung Nyoman Tanjal beristeri Sayu Biang Ngurah, yang berputera seorang, bernama I Gusti Agung Putu Kerebek, yang mengalih bertempat tinggal disuatu Tegalan di Karangjung, disebut Jero Tegal Sari, Beliau beristerikan Gusti Ayu Putu Suberet, tetapi tidak berputera.
Kemudian beliau mengangkat seorang anak perempuan, bernama I Gusti Agung Ayu Ngurah, puteri dari I Gusti Agung Rai Jelantik, dalam perkawinan beliau kedua-kalinya dengan I Gusti Ayu Ketut Rai, ibu anak itu, dan adik dari I Gusti Ayu Putu Suberet.
Disini dapat diceriterakan amanat dari Sri Baginda Raja Mangaraja terakhir kepada I Gusti Agung Putu Gde Kengetan, I Gusti Agung Putu Karang dan I Gusti Agung Gde Rai pada waktu malam hari sebelum Kerajaan Mangaraja dikuasai oleh tentera Kerajaan Badung ditahun l892. Pada malam tersebut menghadaplah I Gusti Agung Putu Gde Kengetan, I Gusti Agung Putu Karang dan I Gusti Agung Gde Rai kepada Sri Baginda Raja, disertai oleh putera-putera beliau, yaitu I Gusti Agung Putu Dalem dan I Gusti Agung Gde Jelantik dan sepasukan perajurit dari Sembung, Karangenjung dan Kuwum, dengan maksud untuk menyatakan setia bakti kepada Raja, dan memohon perkenan beliau agar beliau-beliau tersebut diikut sertakan besok harinya bersama-sama Raja menghadapi musuh dimedan peperangan yang sudah makin mendekat, yaitu di sebelah barat desa Mengwitani. Tetapi apa sabda Baginda Raja yang gagah perkasa dan budiman itu? " Anak-anakku bertiga serta cucuku dan pasukan dari Sembung Karangjung dau Kuwum" demikian titah Raja dengan terharu, tetapi tegas. " Bapamu ini tidak meragukan sama sekali kesetiaan anak-anakku sekalian dan rakyat di sana kepada kerajaan serta kepada diri dan keluarga Bapa pribadi. Begitupun tentang keperwiraan dan keberanian anak-anakku untuk berperang mebela Raja dan Negara yang kini dalam bahaya.
Tentang hal itu Bapa menaruh kepercayaan dan keyakinan yang penuh " tetapi " begitu Raja melanjutkan, "putera-putraku harus tahu, bahwa anda sekalian telah Ramanda serahi tugas yang telah kutentukan, yaitu membela dan mempertahankan perbatasan Kerajaan disebelah utara, bila diserang oleh musuh kita, yakni Negara Tabanan yang bersekutu dengan Badung dalam memerangi Kerajaan Bapa ini. Alangkah aib dan nistaku kalau sampai Bapa diserang oleh seteru dari punggungku, sementara kita menghadapi musuh dimedan Selatan, yaitu tentera Tabanan memasuki ibu kota Kerajaan dan Utara yang tidak dijaga, atau kurang cukup penjagaannya. Anak-anakku sekalian, percayalah dan ketahuilah, bahwa Ramandamu ini tidak kurang budi kesatriya dan keperwiraannya dalam menghadapi lawan di medan bakti, di mana sekalipun. Ramanda tidak mengijinkan anak-anakku menyertai Ramanda besok pagi ke medan Mengwitani.
Cukup Ramanda saja bersama-sama pengikut-pengikutku yang masih setia menghadapi musuhku, walaupun Ramanda sudah merasa, harapan untuk mengalahkan mereka tidak ada. Pulanglah anak-anakku bertiga serta pengiring pengiringmu dengan segera, dan lakukan tugas yang menjadi kewajiban anda dengan sebaik-baiknya. Bersana ini do'a restuku untuk anak-anakku sekalian dan rakyat di sana seluruhnya.
Oleh karena perintah yang tegas itu dari Raja, tidak ada jalan lain bagi beliau-beliau bertiga itu, kecuali memohon diri dengan puja pengayu-bahagia kepada Sri Baginda semoga Beliau dilindungi oleh Tuhan Yang Maha Kuasa serta para Betara-Betari dan Leluhur sekalian dalam Beliau esok harinya menghadapi seteru dimedan bakti.
Setelah Raja Mengwi terakhir itu gugur dimedan perang di desa Dakdakan, di sebelah barat desa Mengwitani, serta jenazah Beliau diangkut oleh pasukan Raja Badung ke Denpasar, dan dibaringkan pada suatu balairung-darurat dibagian utara dari kuburan desa Badung, dan seluruh Kerajaan Mengwi ditaklukkan, maka anggota-anggota keluarga puri Sembung Karangenjung dan Kuwumlah diberi tugas oleh Raja Pemecutan untuk "ngemit" jenazah itu selama persiapan upacara pengabenan secara besar-besaran dilakukan. Dan waktu hari pengabenan tiba, dan ketika keluarga Raja Mengwi diberi kesempatan untuk menyembahyangi jenazah Raja sebagaimana mestinya, maka putera Raja yang sulung, Anak Agung Made Agung, yang selama itu ditahan di Puri Sunia-Negara di Denpasar, dan dalam hati masih bimbang, apakah benar-benar jenazah ayah beliau yang akan disembah itu, bertanya secara "singit" kepada I Gusti Agung Gde Jelantik, selaku wakil keluarga Sembung Karangenjung. "Hai anakku Gde,, apakah benar itu jenazah ayahku Raja, dan apakah tidak mungkin jenazah – jenazah orang lain ? Karena anakkulah sekeluarga menjaga dan mengawasi jenazah itu selama ini, dan Bapa hanya percaya kepada kesaksian anakku belaka. I Gusti Agung Gde Jelantik menjawab: “Tuanku, memang benarlah ini jenazah almarhum Ayah Tuanku Betara Dirana, karena hambalah yang memandikan dan membukus jenazah itu. Dan jelas benar hamba mengenal bahwa itu adalah jenazah Betara Dirana dan bukan dari orang lain, karena keadaannya masih utuh benar, dan tidak ada cacatnya sedikitpun, bahkan luka-lukanya masih berdarah merah, se-olah-olah gugur Beliau baru saja terjadi, sedangkan wafat Beliau sudah ber-bulan-bulan yang lalu. Hamba sendiripun amat heran melihat jenazah itu,   laksana orang tidur saja”.
Baru atas keterangan di atas itu Anak Agung Made Agung bersedia menyembah jenazah itu.
Baik juga diceriterakan disini, bahwa setelah Anak Agung Made Agung, yang berhak menggantikan Raja Mengwi itu, dilarikan secara diam-diam oleh duta Ubud, atau perintah Cokorda Gde Sukawati di Ubud, dan oleh karena itu beberapa daerah bekas kerajaan Mengwi mengangkat senjata lagi terhadap Kerajaan Badung. Keluarga puri Sembung, Karangenjung, Nyelati, Kuwum, beserta rakyat di sana, turut dalam pemberontakan, tetapi amat malang, berselang tidak berapa lama, pemberontakan itu dapat ditindas oleh Pasukan Badung dan Tabanan. Dan kembalilah seluruh bekas Kerajaan Mengwi dikuasai oleh Badung dan Tabanan, sedangkan beberapa daerah di bagian utara, termasuk Sembung Karangenjung Kuwun, Nyelati, untuk beberapa lama dikuasai oleh Raja Tabanan, dan para petugas di sana ditawan di Tabanan sebagai sandera (tahanan).
Tetapi karena Raja Pemecutan, yang telah amat akrab dengan keluarga puri-puri Sembung; Karangenjung; Kuwum; Nyelati, akhirnya kembalilah daerah-daerah itu dibawah kekuasaan Badung, jelasnya Raja Pemecutan.
Sekarang marilah ditinjau keturunan I Gusti Agung Made Jelantik yang mengalih ke Banjar Samu Lambing; beliau mengadakan putera, bernama I Gusti Agung Made Jelantik, I Gusti Agung Nyoman Semita, I Gusti Agung Ketut Rai dan I Gusti Agung Ketut Raka Pasek.
I Gusti Agung Made Jelantik berputera tiga orang bernama I Gusti Agung Made Jelantik, I Gusti Agung Nyoman Mundeh dan I Gusti Agung Putu Manggis.
I Gusti Agung Nyoman Semita berputera tiga orang, masing-masing bernama I Gusti Agung Putu Mendo, I Gusti Agung Made Gerembeng dan I Gusti Agung Made Jelantik.
Adapun I Gusti Agung Ketut Rai berputera seorang, bernama I Gusti Agung Nyoman Belongkoran.
Syahdan I Gusti Agung Ketut Raka Pasek berputera dua orang, masing-masing bernama I Gusti Agung Nyoman Rai dan I Gusti Agung Made Gonjong.
Demikianlah.
Sekarang kembali diceriterakan keturunan I Gusti Agung Putu Gde Kengetan di Puri Sembung.
Adapun I Gusti Agung Putu Gde Kengetan Berata beristerikan I Gusti Agung Ayu Alit Sasih, puteri dari I Gusti Agung Gde Rai di Sibang Shrijati, yang tidak melahirkan putera. Setelah beberapa tahun bersuami isteri, maka I Gusti Agung Ayu Alit Sasih meninggalkan suaminya dan kemudian kawin lagi ke puri Kapal Muncan.
Isteri-isteri I Gusti Agung Putu Gde Kengetan Berata selanjutnya adalah Ni Jero Made Nerida, bangsa Bendesa dari Desa Sembung-Sobangan, Ni Jero Made Patera., bangsa Pasek anak Pan Ciria dari Banjar Pasekan Sembung, tetapi kedua-duanya ini tidak melahirkan anak.
Lagi beliau mengambil isteri bernama I Gusti Agung Ayu Putu Sentak, puteri dari I Gusti Agung Ngurah Jelantik dari puri Tanggayuda di Bongkasa, yang melahirkan putera tiga orang, yaitu I Gusti Agung Ayu Oka, I Gusti Agung Gede Raka Arsana, dan I Gusti Agung Ngurah Ardhana.
1.     Sebelum lahirnya ketiga puteranya tersebut, I Gusti Agung Putu Gde Kengetan Berata juga mengangkat dua orang putera, yaitu I Gusti Agung Made Rai, putera dari I Gusti Agung Putu Oka, dan I Gusti Agung Ketut Putera putera dari I Gusti Agung Made Geriya.
2.     Dalam hidupnya I Gusti Agung Putu Gde Kengetan Berata, baliau pernah menjabat kedudukan sebagai Perbekel Sembung dalam masa Penjajahan Belanda selama kurang lebih dua puluh lima tahun.
3.     Dalam mengadakan pinjaman kepada Kantor VokVolks-Crediet-Bank, beliau tidak dapat melunasi hutangnya itu, berhubung timbulnya melaisse perekonomian dalam tahun 1931. Oleh karena itu maka harta benda beliau dan harta orang-orang yang menjadi jaminan beliau, dibeslag dan dijual lelang oleh Bank tersebut. Beliau wafat dalam tahun 1942.
4.     Adapun I Gusti Agung Oka beristerikan I Gusti Agung Ayu Raka, puteri dari I Gusti Agung Putu Mendo di Banjar Samu Lambing, yang melahirkan dua orang putera, yaitu I Gusti Agung Ayu Alit dan I Gusti Agung Made Rai. Setelah I Gusti Agung Putu Oka beserta isteri beliau wafat, maka puteri beliau I Gusti Agung Ayu Alit diangkat anak oleh I Gusti Agung Nyoman Kutha, dan I Gusti Agung Made Rai oleh I Gusti Agung Putu Gde Kengetan Berata, sebelum isteri beliau tadi melahirkan anak.
I Gusti Agung Made Geriya beristerikan Jero Kemuda dari Banjar Tahunan Sembung, yang berputera seorang, tetapi meninggal dunia waktu masih bayi. Selanjutnya beliau mengambil isteri kedua, bernama I Gusti Ayu Ketut Diblug, anak dari I Gusti Kompiang dari Banjar Dajan Peken, yang melahirkan putera-putera I Gusti Agung Ayu Raka Kereped, I Gusti Agung Nyoman Raka, I Gusti Agung Ketut Putera, I Gusti Agung Ayu Manik dan I Gusti Agung Made Jelantik Susila, B.E.
Dalam hidupnya I Gusti Agung Made Geriya pernah menjabat tugas sebagai Pekaseh Subak Cangi, selama kurang lebih tiga puluh tahun di masa penjajahan Belanda, yaitu menggantikan I Gusti Agung Gde Jelantik di Nyelati.
I Gusti Agung Ngurah Gde Geriya beristerikan I Gusti Agung Ayu Raka Jigereg, puteri dari I Gusti Agung Made Oka di Puri Karangjung, yang melahirkan seorang putera perempuan, yang meninggal dunia waktu baru dilahirkan. Selanjutnya beliau beristerikan seorang puteri Brahmana dari Desa Beha, bernama Ida Ayu Made Cenol, yang berputera I Gusti Agung Ayu Raka, I Gusti Agung Made Gde, I Gusti Agung Ayu Nyoman Adi, I Gusti Agung Ayu Galuh dan I Gusti Agung Ayu Rai.
Adapun I Gusti Agung Nyoman Kutha beristerikan I Gusti Agung Nyoman Gu, puteri dari I Gusti Agung Gde Jelantik di Puri Nyelati. Beliau mengangkat anak I Gusti Agung Ayu Alit, puteri dari I Gusti Agung Putu Oka, sebab sudah beberapa kali isteri beliau I Gusti Agung Ayu Nyoman Gu melahirkan puteri, tetapi selalu meninggal dunia, baik waktu sudah lahir, maupun semasih dalam kandungan (gugur). Setelah mengangkat anak I Gusti Agung Ayu Alit, baru satu-satunya putera beliau lahir dengan selamat ke dunia dan diberi nama I Gusti Agung Made Jelantik.
I Gusti Agung Ayu Rai Anom diambil isteri oleh I Gusti Agung Putu Rai Jelantik putera dari I Gusti Agung Gde Rai di Kuwum.
I Gusti Agung Ayu Ketut Rai diambil isteri oleh I Gusti Agung Gde Tanggayuda dari puri Tanggayuda di Bongkase. Setelah suami beliau wafat, maka I Gusti Agung Ayu Ketut Rai kembali kepada keluarga beliau di Sembung.
Ceriterakan sekarang keturunan I Gusti Agung Putu Karang di puri Kerangjung.
1.     I Gusti Agung Putu Dalem beristerikan I Gusti Agung Ayu Raka puteri dari I Gusti Agung Gde Rai di Kuwum dan mendapat putera laki-laki empat orang, yang sulung bernama I Gusti Agung Made Oka. Adik-adiknya bernama I Gusti Agung Rai Jelantik, I Gusti Agung Putu Gde dan I Gusti Agung Made Putu.
2.     I Gusti Agung Nyoman Sengguan beristeri tiga orang :
a.     I Gusti Agung Ayu Ngurah, puteri dari I Gusti Agung Gde Rai di Kuwum, yang melahirkan I Gusti Agung Ngurah Karud dan I Gusti Agung Made Alit.
b.    Ni Gusti Putu Kencan, bangsa Wesya dari desa Jukutpaku Gianyar berputera I Gusti Agung Ayu Putu Gerudug, I Gusti Agung Made Cuk, I Gusti Agung Rai Cek dan I Gusti Agung Ketut Cok.
c.     Ni Jero Selaga, bangsa Sengguhu dari desa Umaabiyan – Belayu, mempunyai seorang puteri bernama I Gusti Agung Ayu Nyoman Ricik.
Selanjutnya marilah diceritakan putera puterinya I Gusti Agung Gde Rai di Puri Kuwum.
I Gusti Agung Ayu Raka diperisterikan oleh I Gusti Agung Putu Dalem di puri Karangjung.
I Gusti Agung Ayu Ngurah diambil istri oleh I Gusti Agung Nyoman Sengguan di puri Karangjung.
I Gusti Agung Gde Jelantik mencari tempat tinggal di alas (hutan) Nyelati, yang beliau bangun menjadi suatu desa, waktu beliau sedang remaja, di bawah bimbingan ayah beliau I Gusti Agung Gde Rai.
Beliau beristeri empat orang, yaitu Ni Jero Laja dari banjar Balangpande Sembung, yang berputera :
I Gusti Agung Ayu Gerodong, I Gusti Agung Made Jago dan I Gusti Agung Ketut Jagi.
Ni Jero Sebitha dari desa Kedampal yang melahirkan I Gusti Agung Ayu Nyoman Gu.
I Gusti Agung Ayu Raka, puteri dari I Gusti Agung Nyoman Arsa di puri Kapal – Muncan, melahirkan tiga orang putera. Puteri yang pertama meninggal dunia waktu dilahirkan. Yang kedua bernama I Gusti Agung Gde Oka Puger, dan adiknya bernama I Gusti Agung Gde Rai Dira yang meninggal dunia waktu sedang meningkat remaja, karena jatuh dari pohon kayu dalam tahun 1924.
Ni Made Jero Patera dari Banjar Nyelati, yang berputera I Gusti Agung Nyoman Rai Cakra, I Gusti Agung Ayu Rai Wati dan I Gusti Agung Ayu Rai.
Sesudah I Gusti Agung Gde Jelantik Jumenek tempat purinya di Nyelati, maka mulailah beliau mengumpulkan orang-orang untuk bertempat tinggal di desa yang baru dibangun itu. Mereka ini kebanyakan orang-orang perarudan (pelarian) dari berbagai-bagai desa jajahan.
Kerajaan Mengwi, waktu Kerajaan ini diserang dan dikalahkan oleh Kerajaan Badung dalam tahun 1892. Akhirnya berhasil dikumpulkan + 75 rumah tangga (kuren). Kepada orang-orang itu dibagikan tanah pekarangan bersama telajakannya, masing-masing mendapat + 0,75 Hektare, dan demikian pula mereka diberi tanah pecatu, berupa sawah masing-masing seluas 25 a’ 30 are, di samping tanah rumput yang terletak di pinggir sungai-sungai.
Selama kerajaan Mengwi dipegang oleh Kerajaan Badung, dan demikian pula setelah pulau Bali di perintah oleh Pemerintah Hindia Belanda sejak tahun 1906, I Gusti Agung Gde Jelantik menjabat tugas perbekel desa Kuwum, dan kemudian merangkap menjadi pekaseh Subak Cangi. Beliau wafat dalam tahun 1947 bulan Mei dalan usia ± 90 tahun.
I Gusti Agung Rai Jelantik tinggal di puri Sembung-Danginan, beristerikan I Gusti Agung Ayu Rai Anom puteri dari I Gusti Agung Putu Gde Kengetan di Sembung, yang melahirkan dua orang putera, tetapi yang masih hidup hanya seorang saja, yaitu I Gusti Agung Gde Geger.
Berhubung putera beliau kepertama meninggal dunia beberapa waktu setelah dilahirkan, maka I Gusti Agung Rai Jelantik mendirikan pasraman di tanah tegal beliau, dimana putera beliau yang meninggal itu dibuatkan pusara dalam suatu bangunan disebelah tempat tidur beliau.
Baru setelah isteri beliau itu mendapat seorang putera lagi, beliau kembali kepuri beliau semula.
Kemudian beliau mengambil seorang isteri lagi, bernama I Gusti Ayu Oka, bangsa Wesya Tegehkori, tetapi dari istri beliau ini tidak diperoleh anak, demikianpun isterinya ini tidak antara berapa lama cerai dengan beliau.
I Gusti Agung Made Kaler bertempat tinggal di Kuwum dan beristeri tiga orang, yakni : Si luh Lacur dari desa Munduk Andong, yang berputera I Gusti Agung Putu Kaler dan I Gusti Agung Ayu Rai Kerinting. I Gusti Agung Ayu Ketut Rempang, puteri dari I Gusti Agung Putu Karang di Puri Karangenjung, yang berputra I Gusti Agung Made Oka Bacol, I Gusti Agung Ngurah Kaler dan I Gusti Agung Alit Sukeri.
I Gusti Ayu Ketut dari puri Perean, yang berputera I Gusti Agung Ayu Oka, dan dua orang anak perempuan kembar, tetapi yang terakhir kedua-duanya meninggal dunia waktu dilahirkan.
I Gusti Agung Made Geriya diangkat putera oleh I Gusti Agung Putu Gde Kengetan di Puri Sembung.
I Gusti Agung Nyoman Kaler beristeri tiga orang yaitu Jero Nyoman Mimba dari desa Kuwum berputera seorang, bernama I Gusti Agung Ayu Putu Keredek.
I Gusti Agung Ayu Nyoman Racik, puteri dari I Gusti Agung Nyoman Sengguan di puri Karangenjung, berputera I Gusti Agung Gde Raka, dan dua anak perempuan  kembar, tatapi yang terakhir ini keduanya wafat waktu masih bayi, sedangkan ibunya wafat waktu melahirkan puteri kembar ini.
Ni Jero Made Tunjung, bangsa Sengguhu dan Umaabian, berputera dua orang yaitu I Gusti Agung Ayu Rai dan I Gusti Agung Ketut Adi.
Adapun I Gusti Agung Nyoman Kaler menjabat tugas Perbekel, menggantikan I Gusti Agung Gde Jelantik kakak beliau, dan setelah I Gusti Agung Putu Gde Kengetan Berata di Sembung berhenti sebagai perbekel Sembung, maka I Gusti Agung Nyoman Kaler diangkat menjadi perbekel Sembung-Kuwum. Di samping itu beliau juga menjadi seorang dalang wayang-purwa, dan penari “tapel – pajegan”.
Demikianlah,
Sekarang marilah kita lanjutkan silsilah ini.
Ceriterakan sekarang keluarga yang tinggal di puri Karangenjung putera-putera dari I Gusti Agung Putu Dalem.
I Gusti Agung Made Oka beristeri tiga orang, yaitu : I Gusti Agung Ayu Rai Kerinting, puteri dari I Gusti Agung Made Kaler di puri Kuwum, yang berputera I Gusti Agung Ayu Raka Jigereg. Kemudian I Gusti Agung Ayu Rai Kerinting meningggalkan suaminya, kawin dengan seorang bangsa Wesya bernama Si Kompiang Bagia dari desa Karangenjung.
Isterinya kedua ialah Ni Jero Sumanasa dari desa Karangenjung yang berputera tiga orang, yang sulung bernama I Gusti Agung Putu Rai wafat pada waktu sedang teruna-remaja sebagai pahlawan Pejuang Kemerdekaan melawan Belanda dalam tahun 1948. Arwah beliau dicandikan di Taman Kusuma Bangsa “MARGARANA''  di desa Kelaci Marga.
Adiknya bernama I Gusti Agung Nyoman Karang, dan yang seorang lagi bernama I Gusti Agung Ayu Ketut Geriya.
Ni Jero Tengguli dari desa Kuwum berputera I Gusti Agung Made Oka Wirya dan I Gusti Agung Ayu Nyoman Wiryani.
I Gusti Agung Rai Jelantik beristerikan I Gusti Agung Ayu Putu Gerudug, puteri dari I Gusti Agung Nyoman Sengguan di Karangjung, yang berputera I Gusti Agung Ayu Nyoman Sungkerig dan I Gusti Agung Ayu Putu Sungkerug.
I Gusti Agung Putu Gde tertimpa penyakit mata hingga menjadi buta kedua belah mata beliau. Beliau beristerikan I Gusti Agung Ayu Ngurah, anak angkat dari I Gusti Agung Putu Kerebek di Jero Tegal, yang berputera I Gusti Agung Ketut Bagus, I Gusti Agung Ayu Rai Puteri, dan   I Gusti Agung Ayu Nyoman Manik.
Adapun I Gusti Agung Putu Gde diangkat - sentana oleh mertua beliau I Gusti Agung Putu Kerebek, dan menetap tinggal di Jero Tegal Sari Karangenjung.
 I Gusti Agung Made Putu beristeri tiga orang yaitu :
Ni Jero Terena dari Karangenjung tidak berputera.
I Gusti Agung Ayu Oka, puteri dari I Gusti Agung Made Kaler di Kuwum, juga tidak berputera. Kemudian isterinya ini kawin keluar dengan I Gusti Putu Pegug, keturunan Pemecutan dari desa Peguyangan Badung, yang waktu itu tahun 1940, nenjadi guru pada Sekolah Rakyat di Sembung.
Si Luh Putu Tengkerig, keturunan Wesya Bedulu di Karangenjung, yang berputera : I Gusti Agung Ayu Bintang, I Gusti Agung Ayu Rai Aryani, I Gusti Agung Nyoman Puja Astika, I Gusti Agung Ayu Ketut Ernawati dan I Gusti Agung Ayu Putu Raka dan I Gusti Agung Gde Suadnyana.
Sekarang marilah dilanjutkan menceriterakan keturunan I Gusti Agung Nyoman Sengguan di puri Karangjung.
I Gusti Agung Ngurah Karud mempunyai dua orang isteri, masing-masing bernama Ni Jero Prijata dari Karangjung dan Ni Jero Sebitha dari Banjar Nyelati, kedua-duanya tidak nalahirkan anak ; kemudian. kedua isterinya ini meninggalkan suaminya dan kawin keluar.
I Gusti Agung Made Alit beristeri dua orang yaitu Ni Jero Padma dari Banjar Pasekan Sembung yang tidak berputera dan I Gusti Agung Ayu Alit Sukeri, puteri dari I Gusti Agung Made Kaler dari Kuwum yang berputera I Gusti Agung Bagus Panyong, yang meninggal dunia waktu masih kanak2, I Gusti Agung Ayu Rai Rat, I Gusti Agung Ayu Nyoman,    I Gusti Agung Ayu Ketut Payuk, I Gusti Agung Ayu Putu Kining, I Gusti Agung Ayu Raka, dan I Gusti Agung Bagus Sudana.
I Gusti Agung Ayu Putu Gerudug diambil isteri oleh I Gusti Agung Rai Jelantik di Karangjung
I Gusti Agung Made Cuk mempunyai isteri bernama Ni Jero Nyiri (meninggal tanggal 24 Oktober 1963) yang melahirkan (tujuh) orang anak (anak pertama dan kedua meninggal ketika masih bayi) yaitu I Gusti Agung Nyoman Manik, I Gusti Agung Ketut Rai (meninggal tanggal 19 Mei 1963), I Gusti Agung Putu Mayun Sudartha, I Gusti Agung Made Rai Jelantik dan I Gusti Agung Rai Alit Widana.
I Gusti Agung Rai Cek beristeri I Gusti Ayu Rai Kembar, Wesya Tegeh Kori ; berputera hanya, seorang bernama I Gusti Agung Putu Oka.    I Gusti Agung Ayu Nyoman Ricik diambil isteri oleh I Gusti Agung Nyoman Kaler di puri Kuwum.
I Gusti Agung Ketut Cok sampai berusia tua tidak beristeri. Sekarang dilanjutkan dengan menceriterakan putera-puterinya I Gusti Agung Gde Jelantik di Puri Nyelati :
I Gusti Agung Ayu Putu Gerodog kawin dengan I Gusti Agung Putu Kaler anak dari I Gusti Agung Made Kaler di puri Kuwum.
I Gusti Agung Made Jago mengambil isteri Jero Made Resija dari Banjar Tahuman Sembung yang melahirkan I Gusti Agung Putu Keteg dan I Gusti Agung Made Ketug.
I Gusti Agung Ayu Nyoman Gu diambil isteri oleh I Gusti Agung Nyoman Kutha di Puri Sembung, putera dari I Gusti Agung Putu Gde Kengetan.
I Gusti Agung Ketut Jagi beristeri dua orang, yang pertama bernama Jero Resiki, yang melahirkan dua orang anak, yang pertama perempuan dan meninggal dunia waktu baru dilahirkan, dan yang kedua bernama I Gusti Agung Made Raka Repeg.
Isteri yang kedua bernama I Gusti Agung Ayu Putu Keredek, puteri dari I Gusti Agung Nyonan Kaler di Puri Kuwum yang rnelahirkan seorang putera bernama I Gusti Agung Bagus Oka.
I Gusti Agung Gde Oka Puger beristeri I Gusti Agung Ayu Alit puteri dari I Gusti Agung Putu Oka di puri Sembung dan diangkat anak oleh I Gusti Agung Nyoman Kutha, yang melahirkan putera-puteri :
I Gusti Agung Ayu Mas, I Gusti Agung Bagus Tirtayasa, I Gusti Agung Ayu Rai Bintang, I Gusti Agung Ngurah Gde Mertanegara, I Gusti Agung Gde Oka Putera, I Gusti Agung Gde Rai Udayana, I Gusti Agung Bagus Arthanegara, I Gusti Agung Bagus Krishnahari, I Gusti Agung Gde Raka, I Gusti Agung Ayu Inten Sasteri dan I Gusti Agung Bagus Adnyanegara.
Adapun I Gusti Agung Gde Oka Puger adalah salah seorang anggota Swa Wandawa Sembung-Karangenjung yang pertama sekali dapat meneruskan pelajaran sekolah, dari Sokalah Hollands Inlandse School - Sekolah Rakyat berbahasa Belanda waktu itu, hingga Sekolah M.U.L.O. (Meer Uitgebreid Lagero Opleiding) dengan mendapat ijazah, Setelah dapat meluluskan pelajaran sekolah itu, beliau diterima menjadi pegawai, mula-mula pada perusahaan dagang Belanda, N.V.v/h J.F. Esser selama tujuh bulan dan kemudian pindah dalam jabatan Pemerintah Hindia Belanda, Pemerintah Pendudukan Jepang, Pemerintah Republik Indonesia, dan kemudian diambil oper oleh Pemerintah Dewan Raja - Raja di Bali yang merupakan Gabungan dari kedelapan Selfbestuurder di Bali. Kemudian setelah Selfbestuur-selfbestuur di Bali dihapuskan dan dibentuk Pemerintah Daerah Bali di bawah seorang Kepala Daerah, begitupun setelah beberapa waktu kemudian dibentuk Propinsi Bali ; beliau terus bekerja pada Pemerintah-pemerintah tersebut, sehingga akhirnya mulai tanggal 1 Januari 1967 beliau dalam pangkat Pegawai Tinggi Ketataperajaan - setingkat dengan pangkat Bupati-Kepala Daerah - diberhentikan dengan hormat dari Jabatan Pemerintah dan diberikan hak  pensiun menurut peraturan-peraturan yang berlaku.
I Gusti Agung Nyoman Rai Cakra baristri tiga orang, yaitu I Gusti Ayu Ketut Swati dari Jero Taman-Marga, yang berputera : I Gusti Agung Ayu Sasih, I Gusti Agung Ayu Rai Aryani, I Gusti Agung Ayu Ketut Sukartini dan I Gusti Agung Ngurah Kusuma.
Ni Jero Somacita, berputera I Gusti Agung Ayu Nyoman Adnyani,  I Gusti Agung Ayu Sumarsih dan I Gusti Agung Bagus Wina. .
Dayu Nyoman dari Sangeh, yang berputera seorang laki-laki, tetapi meninggal waktu nasih kanak-kanak/bayi.
Adapun I Gusti Agung Nyoman Rai Cakra adalah seorang ahli seni-tari baris, topeng (parembon), tapel pajegan, dan istimewa tari arja. Diberbagai-bagai tempat di Bali, seperti Geluntung (Marga), Tuka, Luwus, Gulingan (Mengwi), Tegalsahat (Kapal), bahkan sampai di Sukasada (Buleleng), beliau pernah mengajarkan menari dengan berhasil. Di samping itu beliau juga mempunyai keahlian tentang peraturan sabungan ayam, sehingga kerap kali diundang untuk menjadi ''saya'' pada sabungan ayam di berbagai tempat.
Adapun I Gusti Agung Ayu Ketut Wati kawin dengan I Gusti Agung Gde Raka, putera dari I Gusti Agung Nyoman Kaler di puri Kuwum. Beliau berijazah :  MLS Bogor.
I Gusti Agung Ayu Rai diambil isteri oleh I Gusti Agung Ketut Adi, juga putera dari I Gusti Agung Nyoman Kaler di Kuwum.
Sekarang disambung menceriterakan putera-putranya I Gusti Agung Rai di puri Danginan Sembung, yang bernama I Gusti Agung Gde Geger ; Beliau mempunyai dua orang isteri, yang pertama bernama Ni Sapereg dari Banjar Nyelati, tetapi tidak beberapa lama isterinya ini, yang tidak berputera, dicerai, Kemudian beliau mengambil Ni Jero Terang Arsa dari Banjar Tahuman Sembung, yang berputera lima orang, masing-masing bernama I Gusti Agung Made Oka Sudiartha, I Gusti Agung Nyoman Raka Sudiarsa, I Gusti Agung Ketut Adnyana, I Gusti Agung Ayu Rai Sukerti dan I Gusti Agung Made Pusaka.
Oleh karena I Gusti Agung Gde Geger wafat sewaktu putera-puteranya masih kecil, dan isterinya kawin keluar, maka terpaksa Perkumpulan Swa-Wandhawa bertindak menjadi wali, dan putera-puteranya itu diserahkan untuk diajak dan diperhatikan pendidikannya, masing-masing sebagai berikut : I Gusti Agung Made Oka Sudiartha diajak oleh I Gusti Agung Gde Raka, I Gusti Agung Nyoman Raka Sudiarsa oleh I Gusti Agung Ketut Putera.
I Gusti Agung Ketut Adnyana oleh I Gusti Agung Nyoman Kaler di Kuwum, I Gusti Agung Ayu Rai Sukerti oleh I Gusti Agung Gde Raka Arsana di Sembung dan I Gusti Agung Made Pusaka oleh I Gusti Agung Bagus Oka di Kuwum.
Sekarang diteruskan dengan putera-puteranya I Gusti Made Kaler di Kuwum.
I Gusti Agung Putu Kaler beristerikan I Gusti Agung Ayu Putu  Gerodog, puteri dari I Gusti Agung Gde jelantik, yang berputera dua orang ; yang sulung wafat waktu dilahirkan dan  puteranya yang kedua bernama I Gusti Agung Made Raka Pugeg.  Selanjutnya  beliau memperisterikan Jero Nyoman Resiki isteri dari I Gusti Agung Ketut  Jagi di Nyelati yang tidak mendapat putera, dan isteri  beliau yang ketiga ialah Ni Jero Made Patera, bekas isteri dari I Gusti Agung Gd Jelantik di puri Nyelati, yang juga tidak mendapat anak dalam perkawinannya.
I Gusti Agung Ayu Kerinting diambil isteri oleh I Gusti Agung Made Oka di Puri Karangenjung.
I Gusti Agung Made Oka Bacol beristeri tiga orang, yang pertama bernama I Gusti Ayu Ketut Rempuh  turunan Pering dari Umabiyan, yang  melahirkan seorang putera peria, tetapi wafat semasih kecil.
Karena isterinya ini wafat, maka diambil sebagai isteri Ni Jero Naya dari Kuwum, yang tidak mendapat anak. Isterinya ini kawin keluar dan diambil seorang isteri lagi, yaitu I Gusti Ayu Oka Kembar, bekas isterinya I Gusti Agung Putu Rai jelantik di puri Sembung yang melahirkan tiga orang anak prempuan berturut-turut bernama I Gusti Agung Ayu Raka, I Gusti Agung Ayu Rai Aryani dan I Gusti Agung Ayu Ketut Adnyawati.
I Gusti Agung Ngurah Kaler beristeri I Gusti Agung Ayu Raka Kereped, puteri dari I Gusti Agung Made Geriya di Sembung, yang berputera I Gusti Agung Ayu Alit. Puteranya yang ke-4, seorang puteri wafat waktu masih kecil, sedangkan puteranya yang ketiga dan selanjutnya berturut-turut bernama I Gusti Agung Ayu Rai, I Gusti Agung Nyoman Adiasa, I Gusti Agung Gde Oka Wardhana, I Gusti Agung Ayu Mirah, I Gusti Agung Bagus Wirya, dan I Gusti Agung Gde Sudana.
Adapun I Gusti Agung Ngurah Kaler semasa hidupnya pernah menjadi Pekaseh subak Cangi, menggantikan  mertua beliau I Gusti Agung Made Geriya dan kemudian beliau  menjadi kelian Desa Kuwum sampai wafatnya pada tanggal 28 Desember 1967.
I Gusti Agung Ayu Alit Sukeri bersuami dengan I Gusti Agung Made Alit, putera dari I Gusti Agung Nyoman Sengguan di Karangenjung.
I Gusti Agung Ayu Oka diambil isteri  oleh I Gusti Agung Made Putu, putera dari I Gusti Agung Putu Dalem di Karangjung, tetapi tidak lama kemudian kawin keluar dengan I Gusti Putu Pegug, keturunan Pemecutan dari peguyangan Kesiman yang  pada masa itu menjadi guru pada sekolah dasar di Sembung.
Demikian, maka tersebutlah putera-putera dari I Gusti Agung Nyoman Kaler di Puri Kuwum.
I Gusti Agung Putu Keredek bersuami dengan I Gusti Agung Ketut jagi, putera dari I Gusti Agung Gde Jelantik di Puri Nyelati.  Sesudah wafatnya I Gusti Agung Ketut Jagi, beliau kawin lagi dengan I Gusti Agung Made Rai, putera dari I Gusti Agung Putu Oka dan anak angkat dari I Gusti Agung Putu Gde Kengetan Berata di puri Sembung.
I Gusti Agung Gde Raka beristeri  I Gusti Agung Ayu Ketut Wati,  puteri dari I Gusti Agung Gde Jelantik di Puri Nyelati yang berputera I Gusti Agung Bagus Puspanegara, I Gusti Agung Made Pujanegara, I Gusti Agung Ngurah Suryanegara, I Gusti Agung Gde Adnyanegara yang meninggal waktu  masih kanak-kanak, I Gusti Agung Ayu Utari Rakawati, dan I Gusti Agung Ayu Mas Wiratih.
Adapun I Gusti Agung Gde Raka adalah warga ketiga dari Swa Wandhawa  Sembung Karangenjung yang dapat melanjutkan pelajarannya di luar Pulau Bali, sampai sekolah Middlebare Landbouw School di Bogor, dan kemudian bekerja di berbagai-bagai Jabatan Pemerintah, mula-mula dalam dinas pertanian, kemudian pindah dalam dinas Kooperasi dan selanjutnya dalam dinas Perguruan Tinggi sebagai dosen pada Fakultas Ekonomi Universitas Udayana di Denpasar.
I Gusti Agung Ayu Rai disambil isteri oleh I Gusti Agung Ketut  Putera, putera dari I Gusti Agung Made Geriya, yang diangkat anak oleh I Gusti Agung Putu Gde Kengetan Berata di Puri Sembung.
I Gusti Agung Ketut Adi beristerikan I Gusti Agung Ayu Rai, puteri dari I Gusti Agung Gde Jelantik di Puri Nyalati. I Gusti Agung Ketut Adi yang mula-mula tamat pada sekolah Rakyat saja, setelah bekerja pada Kantor Inspeksi Pendidikan Jasmani di Denpasar, berhasil menempuh berbargai kursus aplikasi dan akhirnya dapat memperoleh Ijazah Akademi Administrasi  Negara (AAN). Putera-puteranya adalah :   I Gusti Agung Gde Oka Adhita, I Gusti Agung Gde Rai, I Gusti Agung Ayu Nilawati, I Gusti Agung Bagus Adiwijaya, I Gusti Agung Ayu Sundari, I Gusti Agung Ngurah Dharmayuda, I Gusti Agung Ayu Yuliadi.
Sekarang diteruskan dengan keturunan I Gusti Agung Made Geriya di Sembung.
I Gusti Agung Ayu Raka Kereped bersuami dengan I Gusti Agung Ngurah Kaler di Kuwum.
I Gusti Agung Nyoman Raka beristerikan I Gusti Agung Ayu Oka, puteri dari I Gusti Agung Putu Gde Kengetan Berata di Puri Sembung, yang berputera : I Gusti Agung Ngurah Susanta, I Gusti Agung Ngurah Supartha, I Gusti Agung Ngurah Sutama, I Gusti Agung Ngurah Sumertha, I Gusti Agung Ngurah Wijaya, I Gusti Agung Ayu wiryanti, I Gusti Agung Ngurah Wardana, I Gusti Agung Ngurah Wisuda, I Gusti Agung Ayu Widiasih. I Gusti Agung Nyoman Raka adalah warga Swa wandhawa yang keempat yang meneruskan pelajarannya keluar pulau Bali, yaitu sampai sekolah Pendidikan Jasmani di Jakarta dan kemudian menjadi guru Pendidikan Jasmani di berbagai sekolah lanjutan, dan setelah itu menjadi pegawai atas pada Dinas Pendidikan Jasmani Daerah Bali di Denpasar.
I Gusti Agung Ketut Putra kawin dengan  I Gusti Agung Ayu Rai, puteri dari I Gusti Agung Nyoman Kaler di Puri Kuwum. Setelah menamatkan pelajarannya pada sekolah Taman Dewasa pada Perguruan Taman  Siswa maka I Gusti Agung Ketut Putera bekerja di Kantor Kuangan Daerah Bali, dan dalam bertugas itu kepadanya diberi kesempatan mengikuti beberapa kursus yang bersangkutan dengan pekerjaannya itu, dengan mencapai hasil yang memuaskan.
I Gusti Agung Ayu Manik diambil istri oleh I Gusti Agung Gede Jelantik, putera dari I Gusti Agung Nyoman Kutha di puri Sembung.
I Gusti Agung Made Jelantik Susila kawin dengan I Gusti Agung Ayu Bintang, putri dari I Gusti Agung Gede Oka Puger di Puri Nyelati yang berputera : I Gusti Agung Ayu Rai Yanti, I Gusti Agung Bagus Shiladarma dan I Gusti Agung Ayu Mas Shilawati. Adapun I Gusti Agung Made Jelantik Sushila adalah warga Swa Wandhawa yang  pertama yang mencapai gelar B.E. (Bachelor of Engineering) pada Sekolah Tinggi Teknik di Bandung. Kemudian beliau menjabat berbagai-bagai pangkat pada Jawatan pekerjaan umum.
Sekarang dilanjutkan menceritakan keturunan I Gusti Agung Putu Gde Kengetan Berata di Puri Sembung.
I Gusti Agung Ayu Oka diambil isteri oleh I Gusti Agung Nyoman Raka, putera dari I Gusti Agung Made Geriya di Sembung.
I Gusti Agung Gde Raka Arsana mengambil isteri  I Gusti Agung Ayu Raka, puteri  dari I Gusti Agung Made Oka Ketug di Karangenjung , yang berputera : I Gusti Agung Ayu Mas Widiastuti, I Gusti Agung Ayu Mirah Widiastuti, I Gusti Agung Ayu Inten Widiastari, I Gusti Agung Ayu Manik Purnamawati dan I Gusti Agung Gde Bagus Satria Wibawa.
I Gusti Agung Ngurah Ardana Kawin dengan Ni Gusti Ayu Alit, Keturunan Gajahpara dari Sempidi, yang berputera : I Gusti Agung Oka Antari, I Gusti Agung Bagus Kusumayadi, I Gusti Agung Gde Rai  Yudiantara, I Gusti Agung Ayu Alit Ardiani, I Gusti Agung Ayu Mas Yuniari,  I Gusti Agung Ayu Mirah Yuniawati.
Sekarang dengarkanlah tentang keturunan I Gusti Agung Putu Oka di Puri Sembung.
I Gusti Agung Ayu Alit, yang diangkat anak oleh I Gusti Agung Nyoman Kutha, diambil isteri oleh I Gusti Agung Gde Oka Puger di Puri Nyelati.
I Gusti Agung Made Rai, yang diangkat anak oleh I Gusti Agung Putu Gde Kengetan Berata, kawin dengan I Gusti Agung Ayu Putu Keredek, janda dari I Gusti Agung Ketut Jagi di Puri Nyelati. Beliau tidak mendapat putera dari perkawinan itu.
Dilanjutkan sekarang dengan putera-putera I Gusti Agung Ngurah Gde Geriya.
I Gusti Agung Ayu Raka diambil isteri oleh seorang Bangsa Brahmana dari desa Beha.
I Gusti Agung Made Gde beristerikan I Gusti Agung Ayu Rai, dari desa Sigaran, yang berputera seorang anak lelaki, bernama I Gusti Agung Gde Suwarka.
Tidak berapa lama isterinya tersebut meninggalkan suaminya, dan kawin keluar dengan seorang suku Jawa. Setelah itu I Gusti Agung Made Gde kawin lagi dengan I Gusti Agung  ayu Oka, kakak dari I Gusti Agung Ayu Rai di depan, dan berputera I Gusti Agung Ayu Rai, I Gusti Agung Ayu Nyoman Sukaseni, I Gusti Agung Ayu Ketut Sasih, I Gusti Agung Putu Gde Karya, I Gusti Agung Ayu Adiani.
I Gusti Agung Ayu Nyoman Adi Kawin dengan orang jaba dari Serangan.
I Gusti Agung Ayu Galuh diambil isteri oleh seorang bangsa Brahmana dari Abiansemal.
I Gusti Agung Ayu Rai diambil isteri oleh seorang jaba dari Banjar Blangpande Sembung.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar